Sunday, February 28, 2010

Televisi Dan Anak



Sesaat saya merasa bisa melakukan sesuatu.
menatap dalam-dalam masa depan saya pribadi, keluarga saya, kelompok saya, kota saya, lalu INDONESIA !
Semua tergambar dalam mata seperti lorong mesin waktu.
Semoga yang saya lakukan tetap pada orbit-Nya.

Hari minggu berjalan seperti biasanya, menonton tv. Ini merupakan kerjaan yang sudah menjadi alam bawah sadar saya sejak kecil. Televisi benar-benar menjadi teman saya saat saya merasa benar-benar tidak ada teman berbicara. Rasanya saat itu saya berbicara kepada televisi. Sampai saya bisa merasakan peran, masuk kedalam imajinasi lalu mengiringi sampai mimpi.
Beragam jenis acara telah saya tonton. Tidak bisa dibohongi, berbagai adegan seperti pornografi, pembunuhan, pencurian, penyelewengan dan kekerasan itu telah saya lihat sejak kecil.

Saat ini, saya merasakan adanya dampak besar akibat terlalu "berteman" dengan televisi tersebut. Yaitu saya merasa jadi memiliki perasaan dan penghayatan yang cukup tinggi, namun selama ini saya menganggap itu suatu kelebihan manusia. Dalam perjalanan film "one missed call" yang baru saja selesai saya tonton di HBO Signatured, saya merasa kelebihan saya tersebut menguji saya untuk mengeluarkan energi besar saat sebuah perasaan atau penghayatan membutuhkan kontrol tinggi agar tidak mempengaruhi beban pikiran saya. Film ini bercerita tentang sebuah kisah kematian oleh sebuah misteri kematian yang belum terungkapkan. Mungkin kita mengenal sebagai "arwah penasaran". Apapun istilahnya, bukan itu yang saya ingin ceritakan hehe.
Dalam film ini diceritakan banyak sekali serangan-serangan psikologis sebelum kematian itu datang. Benarkah psikologis begitu besar serangannya hingga merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan di dunia ini kecuali menjemput kematian. Rasaya semua sudah berakhir saat psikologis itu menyerang.
Di film tersebut sempat keluar kata-kata "nilai spiritual" saat seorang pendeta hendak mengeluarkan "arwah penasaran" dari objek yang diduga mengalami gangguan psikologis. Artinya saya ingin menarik kesimpulan sedikit, bahwa apapun yang terjadi jangan lupakan sebuah spiritualitas yang sudah seharusnya mengontrol kita dari dalam sebelum emosional dan intelektulitas membentuk suatu aktifitas nyata.

Terlepas dari nilai spiritual, saya ingin bercerita sedikit tentang diri saya. Terkait dengan cerita diatas soal saya yang berteman cukup akrab dengan televisi. Terkait juga sebuah mimpi saya bisa melakukan sesuatu untuk orang lain, yang dimulai dari diri saya sendiri hingga perjuangan saya bisa sampai pada perjuangan Merah Putih yang akan selalu berkibar walaupun angin besar menerjang di tiang tertinggi sana. saya merasa telah lebih mengenal siapa saya setelah saya mengenal nilai spiritual. Luar biasa hingga saya merasakan perubahan dalam pengendalian diri walaupun belum significant, tapi inilah nilai proses yang harus dinikmati. ALhamdulillah saya pun mulai bisa dengan tenang menulis untuk menuangkan sesuatu yang bisa saya bagi kepada orang lain walau saya bukan siapa siapa.

Cerita saya ini benar-benar terlintas saat saya menonton film "one missed call" yang saya cerirtakan diatas tadi. Kok saya merasa mendapatkan jawaban untuk diri saya sendiri. Saya merasa wah lagi lagi menonton film thriller horor begini akan membuat saya keringet dingin hingga sesak nafas seperti biasa. Namun kok saya bisa mengendalikan diri bahkan berusaha mengambil sebuah nilai yang mungkin bisa berguna khususnya untuk saya umumya untuk orang lain.
Saat saya menonton banyak sekali input yang saya terima untuk dirangsang oleh otak lalu otak seperti memerintahkan sebuah pergerakan dalam diri sampai pergerakan fisik seperti keringetan yang tadi saya paparkan diatas. Rasanya saya mulai bisa memetakan apa yang harus saya perbaiki dan katakan kepada orang lain. Dulu saat saya SD orang tua saya sering sekali keluar kota demi mencapai target MLM yang dijalaninya, saat itu yang saya tahu papa mama bukan menginggalkan saya, tapi berusaha mencari uang agar saat pulang kerumah saya bisa punya mainan atau hal yang saya inginkan lainnya. Saat saya ditinggal oleh mereka di rumah, seperti yang saya bilang televisi merupakan teman saya. Sekarang saya merasa beragam tayangan televisi yang saya cerna tanpa sadar telah membangun Perasaan dan Penghayatan saya hingga seperti ini. Banyak orang yang bilang "kebanayakan nonton film sih" kalau ada yang seorang bercerita kepadanya kisah melankolinya. Ya mungkin itu yang saya alami, saya kebanyakan nonton film. Apalagi tanpa bimbingan orang tua yang saat itu sering keluar kota mencari nafkah. Rasanya ingin bisa memperbaiki saat itu, selama ini saya merasa saya adalah anak yang manja. Tapi saat ini saya ingin bisa menjadi anak yang lebih manja, yang bisa bercerita jujur dengan orang tua terhadap apa yang terjadi pada saya dimulai dari bercerita apa perasaan saya setelah menonton film dari judul A-Z. Loncat hingga saya beranjak SMP dan SMA, kali ini bukan orang tua saya yang lagi lagi kerja keluar kota. Namun saya yang sekolah diluar kota, dan ini mengambil banyak waktu dan kesempatan saya untuk bisa lebih jujur kepada mama papa untuk bisa bercerita untuk mengungkapkan apa saja perasaan saya.
Saya yang merasa manja ini ternyata tidak benar-benar manja terhadap orang tua karena saya tidak terlatih untuk bisa jujur kepada orang tua saya.
Woow ternyata dampaknya begitu besar. Saat ini saya masih merasa saya anak yang suka berimajinasi tinggi hingga terkadang mengganggu pikiran saya sendiri. Itu akibat saya tidak pandai mengungkapkan sesuatu dengan jujur. Saat saya bisa mengungkapkan dan berusaha memperbaiki diri saya, saya ingin bisa berbagi kepada orang lain. Saya belajar menulis agar bisa menghasilkan sesuatu dan berbuat sesuatu.

Gimana caranya biar saya bisa bercerita kepada banyak orang tentang (ini yang ada di pikiran saya saat ini) :
1. Anak bisa dengan enak share terhadap orang tua apa yang di rasakan
2. Anak bisa mengenali seperti apa keadaan dengan mengenal nilai spiritual
Full Post